Selasa, 22 Januari 2013

Perempuan yang Seperti Angin

Muchniart Az 22 Desember 2012 / 8:30 ·

Aku bukanlah titik
Hanya sebuah koma yang mencoba menerjemahkan bahasa angin
Dan mengurai kata yang turun pada rintik hujan
Aku hanyalah separuh dari aksara yang ada dalam mimpimu
Yang ingin mengejawantah saat kau terbangun
Aku bukan samar bayang yang hanya kekal dalam imajinasi
Sebab
Saat kau menyeruput secangkir kopi
Aku ada di sampingmu

Malam beraksara. Pada sembusan angin, dia mengirimkan kabar dari langit tentang satu kerinduan. Pada sapaan gemintang, senyum satu rindu itu melengkung di sana. Pada pekatnya, dia menyusun titian-titian terjal, isyarat bahwa hidup tak semanis kembang gula. Sunyi berbisik, hidup harus dimaknai syahdu. Tetapi malam ini, bulan tak ada. Dan untung saja dia tidak menampakkan diri, sebab jika iya, aku akan sulit memaknai setiap kalimat yang diejakan malam satu persatu, dia terlalu sering membuatku melankolik.

Seperti sebuah majalah dinding. Kalimat-kalimat itu berbaris rapi pada lembaran kertas yang menempel padanya. Lalu kubaca, dan berkelindan bagai sebuah cerita yang rumit. Kadang kala aku mengerutkan kening, atau menggaruk-garuk kepala meski tak gatal, sebab terlalu riskan rasanya menerjemahkan yang banyak itu dengan kapasitas pengetahuan yang sebegini. Namun aku harus melakukannya, sebab jika berhasil, maka pemilik senyum satu rindu akan merupa sempurna di hadapanku.
                                                                                         ***
Seperti hari-hari biasanya, bangun pagi dan menyiapkan segala hal untuk keperluan anak-anak dan suaminya. Setelah itu dia berangkat “berdinas”; beginilah dia menyebutnya. Terlahir sebagai seorang perempuan, dia berbeda dari yang lain. Sebab, diusianya yang terbilang belum terlalu tua, dia telah menikah dan dikaruniai sepuluh orang anak. Sesuatu yang dianggap tidak lazim untuk konteks sekarang? Tetapi Daeng Te’ne, sapaan akrabnya, tidak menyoalkan itu. Justru dengan beban hidup membiayai sepuluh orang anak, menjadi motivasi baginya lebih kreatif mencari pundi-pundi rupiah.

Beruntung ada beberapa orang di antara anak-anaknya yang bisa membantu untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, sebab dalam hal ini, suaminya tidak bisa diharapkan; hampir separuh anggota tubuhnya, pupus digerus penyakit kusta. Namun Daeng Te’ne merasa belum puas. Dia memiliki mimpi, membalikkan takdir pada anak-anaknya. Sungguh, meski tidak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, dia memiliki pikiran yang terbuka. Mungkin, dia bersekolah pada kehidupan. Apalagi jika bercerita tentang masa depan anak-anaknya. Ketidakpuasannya ini terlihat pada keseriusannya mengurusi anak bungsunya dalam hal pendidikan. “Katte kodong, tenamo kuassikola. Jaji anne mami harapangku.” Katanya, sambil menunjuk si bungsu, Rais. Dia berharap, anak bungsunya ini tidak bernasib sama dengannya.

Untuk itu, ditiap harinya, hampir semua pekerjaan yang “tidak lazim” digelutinya. Mulai dari mengojek, mencuci pakaian para anak kost, memungut barang-barang bekas, sampai pada aktivitas mengemis di jalanan, “berdinas.” Katanya.

“Sembarangan nakke kujama, assalan tena ku lukka,” tegasnya.

Aku bertetangga dengannya, namun terlihat jelas perbedaan di antara kami. Dia telah menjadi seorang ibu, aku belum. Aku tinggal di rumah yang terbilang mewah. Sementara dia dan anak-anaknya tinggal di tempat yang sederhana, dan nyaris tak layak disebut rumah. Aku besar dengan limpahan materi, sementara dia hidup pas-pasan dan bekerja keras. Yang terpenting, di tengah keterbatasannya, dia masih sempat menyisihkan sedikit uang atau membelikan beberapa permen untuk anak-anak kecil di sekitarnya yang kurang lebih bernasib sama sepertinya. Inilah yang membuat aku terkadang malu.

Sering kubayangkan, bagaimana jika aku juga telah menjadi seorang ibu. Mampukah aku seperti dia? Menjadi tulang punggung keluarga, tanpa pernah berpikir lagi mengurus diri sendiri. Sekarang saja, tanpa beban dan tanggungan apapun, tiap hari keluhanku menggunung. Bahkan untuk hal-hal yang sepeleh. Apalagi soal mengeluarkan uang. Aku sangat hati-hati dan sedikit pelit. Tetapi kadang juga aku berpikiran egois, bahwa hidup itu bagaikan roda yang terus berputar. Begitupun dengan nasib seseorang, tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya. Mungkin ini sekedar bahasa hati, kalau bukan ego individu untuk membela diri.
                                                                                            ***
Huruf-huruf yang berjejal di angkasa malam ini, mengingatkanku pada Dia. Hampir setahun aku tidak lagi melihat dan mendengar suaranya yang riuh kala pagi. Kabarnya, dia harus pindah karena lahan tempat rumahnya berdiri akan digunakan oleh pemiliknya untuk usaha kos-kosan. Dan lihat! Gumpalan awan menaikkan ibu jari di tangan kanannya sambil mengarah ke lahan tempat rumahnya dulu yang kini sudah berganti tiang-tiang beton. Mungkin, dia juga rindu. Entahlah!

Sementara bintang gemintang, membentuk sebuah rasi Columba; seekor merpati. Wajahnya terpola di sana, siap melesat mengikuti sang merpati menjelma menjadi angin. Pekat pun tak mau kalah. Dia bersekutu dengan sunyi mengirimkan cerita tentang perjuangan dan pengorbanan, sesekali mereka berbisik, mungkin bercerita tentangku. Aku benar-benar merasa tersinggung pada tingkah mereka. Sebab di rahimku, sosok bayi telah mengisinya selama tiga minggu. Dalam hitungan bulan, aku akan menjadi seorang ibu. Namun, tetap aku masih berbeda dengan Daeng Te’ne. Kabarnya, saat mengandung anak pertamanya, dia belum memiliki apa-apa. Makan saja begitu sulit, apalagi untuk menyuplai gizi janinnya. Dia membawa serta calon bayinya, merasai dinginnya malam dan kakunya tembok emperan toko. Aku, menu yang kusantap lebih dari cukup. Aku memiliki rumah untuk bernaung, tetapi aku masih terlalu sering mengutuk takdir, sementara dia tidak.

Pantas saja, jika seisi angkasa malam ini mementaskan teatrikal di hadapanku. Mereka ingin menyudahi segala kepongahan yang menyelimuti. Sebab aku akan menjadi seorang ibu. Itu artinya, satu eposide akan kulunasi. Sudah saatnya aku lebih dewasa dalam segala hal. Dan bersamaan dengan berakhirnya pentas malam, aku putuskan,  jika Daeng Te’ne menjelma angin, bertiup lembut dalam pikir dan rasaku. Maka aku akan membiarkan kedua tanganku terbuka lebar-lebar untuk merasai hembusannya. Ingin belajar darinya, agar hidup tak sekadar makan dan minum, lalu tidur memunggungi malam.

Makassar, 22 Desember 2012 (00.15 – 02. 12 Wita)
Buah karya, untuk mengkhidmati siapapun yang layak digelari IBU!


Catatan;
Katte kodong, tenamo kuassikola. Jaji anne mami harapangku (Saya ini, sudah tidak sekolah. Jadi hanya dialah harapanku)
Sembarangan nakke kujama, assalan tena ku lukka (Saya akan mengerjakan apapun, asal bukan mencuri)


Tidak ada komentar: