Selasa, 22 Januari 2013

Perempuan yang Seperti Angin

Muchniart Az 22 Desember 2012 / 8:30 ·

Aku bukanlah titik
Hanya sebuah koma yang mencoba menerjemahkan bahasa angin
Dan mengurai kata yang turun pada rintik hujan
Aku hanyalah separuh dari aksara yang ada dalam mimpimu
Yang ingin mengejawantah saat kau terbangun
Aku bukan samar bayang yang hanya kekal dalam imajinasi
Sebab
Saat kau menyeruput secangkir kopi
Aku ada di sampingmu

Malam beraksara. Pada sembusan angin, dia mengirimkan kabar dari langit tentang satu kerinduan. Pada sapaan gemintang, senyum satu rindu itu melengkung di sana. Pada pekatnya, dia menyusun titian-titian terjal, isyarat bahwa hidup tak semanis kembang gula. Sunyi berbisik, hidup harus dimaknai syahdu. Tetapi malam ini, bulan tak ada. Dan untung saja dia tidak menampakkan diri, sebab jika iya, aku akan sulit memaknai setiap kalimat yang diejakan malam satu persatu, dia terlalu sering membuatku melankolik.

Seperti sebuah majalah dinding. Kalimat-kalimat itu berbaris rapi pada lembaran kertas yang menempel padanya. Lalu kubaca, dan berkelindan bagai sebuah cerita yang rumit. Kadang kala aku mengerutkan kening, atau menggaruk-garuk kepala meski tak gatal, sebab terlalu riskan rasanya menerjemahkan yang banyak itu dengan kapasitas pengetahuan yang sebegini. Namun aku harus melakukannya, sebab jika berhasil, maka pemilik senyum satu rindu akan merupa sempurna di hadapanku.
                                                                                         ***
Seperti hari-hari biasanya, bangun pagi dan menyiapkan segala hal untuk keperluan anak-anak dan suaminya. Setelah itu dia berangkat “berdinas”; beginilah dia menyebutnya. Terlahir sebagai seorang perempuan, dia berbeda dari yang lain. Sebab, diusianya yang terbilang belum terlalu tua, dia telah menikah dan dikaruniai sepuluh orang anak. Sesuatu yang dianggap tidak lazim untuk konteks sekarang? Tetapi Daeng Te’ne, sapaan akrabnya, tidak menyoalkan itu. Justru dengan beban hidup membiayai sepuluh orang anak, menjadi motivasi baginya lebih kreatif mencari pundi-pundi rupiah.

Beruntung ada beberapa orang di antara anak-anaknya yang bisa membantu untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, sebab dalam hal ini, suaminya tidak bisa diharapkan; hampir separuh anggota tubuhnya, pupus digerus penyakit kusta. Namun Daeng Te’ne merasa belum puas. Dia memiliki mimpi, membalikkan takdir pada anak-anaknya. Sungguh, meski tidak sempat menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, dia memiliki pikiran yang terbuka. Mungkin, dia bersekolah pada kehidupan. Apalagi jika bercerita tentang masa depan anak-anaknya. Ketidakpuasannya ini terlihat pada keseriusannya mengurusi anak bungsunya dalam hal pendidikan. “Katte kodong, tenamo kuassikola. Jaji anne mami harapangku.” Katanya, sambil menunjuk si bungsu, Rais. Dia berharap, anak bungsunya ini tidak bernasib sama dengannya.

Untuk itu, ditiap harinya, hampir semua pekerjaan yang “tidak lazim” digelutinya. Mulai dari mengojek, mencuci pakaian para anak kost, memungut barang-barang bekas, sampai pada aktivitas mengemis di jalanan, “berdinas.” Katanya.

“Sembarangan nakke kujama, assalan tena ku lukka,” tegasnya.

Aku bertetangga dengannya, namun terlihat jelas perbedaan di antara kami. Dia telah menjadi seorang ibu, aku belum. Aku tinggal di rumah yang terbilang mewah. Sementara dia dan anak-anaknya tinggal di tempat yang sederhana, dan nyaris tak layak disebut rumah. Aku besar dengan limpahan materi, sementara dia hidup pas-pasan dan bekerja keras. Yang terpenting, di tengah keterbatasannya, dia masih sempat menyisihkan sedikit uang atau membelikan beberapa permen untuk anak-anak kecil di sekitarnya yang kurang lebih bernasib sama sepertinya. Inilah yang membuat aku terkadang malu.

Sering kubayangkan, bagaimana jika aku juga telah menjadi seorang ibu. Mampukah aku seperti dia? Menjadi tulang punggung keluarga, tanpa pernah berpikir lagi mengurus diri sendiri. Sekarang saja, tanpa beban dan tanggungan apapun, tiap hari keluhanku menggunung. Bahkan untuk hal-hal yang sepeleh. Apalagi soal mengeluarkan uang. Aku sangat hati-hati dan sedikit pelit. Tetapi kadang juga aku berpikiran egois, bahwa hidup itu bagaikan roda yang terus berputar. Begitupun dengan nasib seseorang, tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya. Mungkin ini sekedar bahasa hati, kalau bukan ego individu untuk membela diri.
                                                                                            ***
Huruf-huruf yang berjejal di angkasa malam ini, mengingatkanku pada Dia. Hampir setahun aku tidak lagi melihat dan mendengar suaranya yang riuh kala pagi. Kabarnya, dia harus pindah karena lahan tempat rumahnya berdiri akan digunakan oleh pemiliknya untuk usaha kos-kosan. Dan lihat! Gumpalan awan menaikkan ibu jari di tangan kanannya sambil mengarah ke lahan tempat rumahnya dulu yang kini sudah berganti tiang-tiang beton. Mungkin, dia juga rindu. Entahlah!

Sementara bintang gemintang, membentuk sebuah rasi Columba; seekor merpati. Wajahnya terpola di sana, siap melesat mengikuti sang merpati menjelma menjadi angin. Pekat pun tak mau kalah. Dia bersekutu dengan sunyi mengirimkan cerita tentang perjuangan dan pengorbanan, sesekali mereka berbisik, mungkin bercerita tentangku. Aku benar-benar merasa tersinggung pada tingkah mereka. Sebab di rahimku, sosok bayi telah mengisinya selama tiga minggu. Dalam hitungan bulan, aku akan menjadi seorang ibu. Namun, tetap aku masih berbeda dengan Daeng Te’ne. Kabarnya, saat mengandung anak pertamanya, dia belum memiliki apa-apa. Makan saja begitu sulit, apalagi untuk menyuplai gizi janinnya. Dia membawa serta calon bayinya, merasai dinginnya malam dan kakunya tembok emperan toko. Aku, menu yang kusantap lebih dari cukup. Aku memiliki rumah untuk bernaung, tetapi aku masih terlalu sering mengutuk takdir, sementara dia tidak.

Pantas saja, jika seisi angkasa malam ini mementaskan teatrikal di hadapanku. Mereka ingin menyudahi segala kepongahan yang menyelimuti. Sebab aku akan menjadi seorang ibu. Itu artinya, satu eposide akan kulunasi. Sudah saatnya aku lebih dewasa dalam segala hal. Dan bersamaan dengan berakhirnya pentas malam, aku putuskan,  jika Daeng Te’ne menjelma angin, bertiup lembut dalam pikir dan rasaku. Maka aku akan membiarkan kedua tanganku terbuka lebar-lebar untuk merasai hembusannya. Ingin belajar darinya, agar hidup tak sekadar makan dan minum, lalu tidur memunggungi malam.

Makassar, 22 Desember 2012 (00.15 – 02. 12 Wita)
Buah karya, untuk mengkhidmati siapapun yang layak digelari IBU!


Catatan;
Katte kodong, tenamo kuassikola. Jaji anne mami harapangku (Saya ini, sudah tidak sekolah. Jadi hanya dialah harapanku)
Sembarangan nakke kujama, assalan tena ku lukka (Saya akan mengerjakan apapun, asal bukan mencuri)


OPINI ;Independensi HMI MPO di ranah Praktis


Zaenal Abidin Riam 

Written By Buletinsia on Jumat, 18 Januari 2013 | 6:47 AM

Kader HMI MPO Cabang Makassar
 
 
Independensi merupakan sikap yang mesti ada dalam setiap organisasi mahasiswa, independensi di tingkat mahasiswa dimaknai secara beragam, bagi organisasi mahasiswa tertentu, independensi dipahami sebagai keterlepasan dari segala bentuk ikatan struktur formal dengan lembaga atau kelompok kepentingan manapun namun secara kultur mereka tetap merasa sebagai bagian dari ormas besar tertentu karena merasa lahir dari rahim ormas besar tersebut. Persepsi lain menganggap bahwa independensi merupakan keterlepasan utuh baik secara struktur maupun kultur dengan lembaga dan kelompok kepentingan manapun, terlebih lagi ketika ia merasa lahir dengan sendirinya tanpa ada ormas besar yang melahirkannya. Dalam konteks independensi, HMI lebih cocok diposisikan pada terma yang ke dua.

            Posisi HMI pada terma ke dua tidak serta – merta mampu menjaga kemurnian independensinya, kita mesti memahami relasi linear independensi dalam altar konseptual dengan aplikasi independensi di ranah praktis. independensi bisa didengungkan dengan nyaring dalam ranah konseptual tapi aplikasi praktisnya bisa saja mengalami hambatan, hambatan tersebut lahir karena ranah praktis sangat diwarnai dengan tarik menarik berbagai kepentingan. Penerapan utuh independensi sangat membutuhkan pemahaman dari para kader tentang makna independensi secara utuh, pemahaman tentang independensi secara utuh merupakan salah satu penentu dalam menindaklanjuti independensi dalam realitas empirik, ketika pada altar konseptual makna independensi direduksi maka ruang geraknya di ranah praktis akan menyempit namun ketika maknanya terlalu dikompromikan maka ia juga sangat berpotensi untuk terciderai.

            penegasan tentang independensi sebagai sikap organisasi bukan berarti menutup ruang gerak HMI untuk melakukan kerja sama dengan kelompok atau individu lain baik yang berada dalam struktur pemerintahan maupun yang berada di luar struktur (HMI tetap bertindak sebagai pengontrol terhadap kebijakan yang mesti disikapi), kerja sama tersebut tidak hanya berlaku di ranah gerakan “tetapi juga berlaku di luar area gerakan” sepanjang komunitas hijau hitam memiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi untuk mengambil keputusan dan bertindak untuk kepentingan umat tanpa paksaan/tekanan dari kelompok/individu manapun. independensi sebagai sikap tidak boleh hanya dipahamai “ke luar” tetapi ia juga harus dipahami “ke dalam”, pemahaman independensi ke arah “dalam” tidak bermaksud menghidupkan benih kecurigaan di antara sesama kader (khawatir akan terjadi intervensi antara sesama kader) akan tetapi ia lebih dimakasudkan agar para kader mampu bertanggungjawab atas semua tindakannya karena tindakan yang mereka ambil lahir dari pertimbangan matang dan mutlak merupakan pilihan sendiri, kerja sama di antara sesama kader tetap dibutuhkan demi menjaga solidaritas organisasi.

            jika ingin independensi mengejawantah sebagai sebuah sikap organisasi dalam ranah praktis maka, syarat utamanya selain “pemahaman utuh” adalah karakter, dalam artian bahwa kader hijau hitam harus memiliki karakter ulil albab jika ingin menjaga stabilitas independensi di ranah praktis, kenapa harus karakter ulil albab? sebab karakter inilah yang mampu menjadi jaminan dan pijakan awal dalam menancapkan karakter independensi di dunia nyata, alasannya karena sebagian besar indikator ulil albab mampu menjadi modal awal bagi para kader dalam menginternalisasikan prilaku independensi ke dalam dirinya. Kita juga seharusnya mawas diri agar tidak menjadikan independensi sebagai tameng atas kritik dari luar yang dialamatkan kepada lembaga, akan tidak bijak jika HMI mempersepsi kritik yang dialamatkan kepadanya sebagai bentuk intervensi organisasi, dalam situasi ini dibutuhkan kemampuan analisa tingkat tinggi guna membedakan antara intervensi yang bersifat merusak dengan kritik yang konstruktif, kritik konstruktif tetap diapresiasi termasuk yang datang dari luar, yang dibutuhkan adalah kecerdasan dalam menyikapi kritik tersebut sebab terdapat berbagai organisasi yang mampu melebarkan sayap karena ia cerdas dalam melakukan seleksi kreatif terhadap setiap kritik yang dialamatkan kepadanya, independensi merupakan jantung dalam bersikap tetapi kita mesti memposisikannya secara cerdas.           

Sajak Perkenalan

- Untuk mu M.A-

Assalamuallaikum,,,
Dengan mengucapkan salam
Aku mengenalmu,,
Dengan melafadzkan bismillahirrohmanirrohim
Aku merindukan mu
Dan dengan sholawat nabi
Aku berdoa agar rindu ini tetap terjaga
Sempat berucap “jika kau datang kerumahku,bawalah setundun pisang untuk ku.”
Lalu aku menjawab “jangankan satu tundun sepuluh tundun pisang pun akan ku bawa. Karena kebetulan aku punya kebunnya”
Kau tersipu malu tapi tak habis begitu saja dalihmu
Lalu kau ajukan syarat lagi, kata mu  “ kalau begitu,berikan aku istana atau kau buatkan aku istana yang megah” sembari tersenyum bangga.
Aku hanya bisa mengelus-elus rambutku
Sembari senyum aku menjawab ”aku tak bisa membuatkan mu istana yang megah,tapi aku punya kesederhanaan hati dan hidup,siapa tahu dengan kesederhanaan itu aku bisa membuatkanmu istana yang dipenuhi oleh cinta dan sayang.”
Dan kau pun terdiam
Lalu dengan dua kalimat sahadat
Aku akan meminta restu pada orang tua mu,

                                                                    Jakarta 16 Mei 2011


                                                                        Nano Mg

Ketika Semakin Mencintainya

ia adalah sebuah benda mati yang ada jauh sebelum orde lama lalu membuahi  rahim-rahim manusia hingga beranak pinak menjadi banyak
kadang ia merusak sel otak orang-orang yang mencintainya
meski pura-pura,namun telah menjadi serius
ketika mereka lupa kalau ini hanya sebuah sandiwara

kemudian tahun demi tahun ia belajar menjadi dewasa
menggunakan kedua kakinya untuk berjalan
untuk berhenti dimana tempat yang ia suka
kadang di daerah birokrasi
atau merambah ke daerah terisolasi sekali pun
maka ia perlahan menjadi hidup

ia adalah pemangsa kaum-kaum lemah
menjadi semakin buas ketika orang semakin mencintainya
kadang ia belajar di kampus-kampus
berteman dekat dengan lembaga-lembaga terkait
maka ia semakin liar mengenakan nama almamater

ia adalah sebuah benda mati
berada jauh sebelum kita merdeka
maka ia hidup dalam  orang-orang yang mencintainya
mereka ;  lumpuh karena terlalu memujanya

Yori Kayama- Padang, 2011

Jumat, 18 Januari 2013

SASTRA ; SELAKSAR CERITA DI BALIK JENDELA

(Sampean, Korkom Makbar)
Aku tergopoh-gepoh untuk melampaui yang arif, hingga tak kunjung tiba pada sikap bijaksana. Termenung menuai ketaksanggupan untuk melampaui itu. Bersilah menikmati keindahan lantunan para penjajal ilmu ku silat dengan hirupan makna menyatu dengan tubuh yang lesuh dengan gisi keilmuan. Ku jajal dengan pencarian hingga ku jagal dengan pisau belatih bertajuk nuansa harmonis keilmuan. Ketangkasan ku tak sanggup menyergap energi pengatahuan, ku biarkan berlalu seiring cerita menggelantung di udara, biarkan di tangkap dengan yang lain oleh para penjajal ilmu.
 
Pengetahuan dan ilmu kian bersajak dengan kelaminnya, berhias dengan  warnanya, tercebur pada makna yang mendua. Disharmoni kian menghantu menghujat keterbatasan-keterbatasan rasio. Terlena dengan rayuan pelacur nihilisme dan absurditas. Teologis sebagai Pemantik menjadi kehebohan sang ateis bernyanyi bersama kematian Tuhan. Berlanggam dengan kebenaran absurditas. Asyik...... sejarah menjadi drakula penghisap hakikat dari nuansa spekulatif dari sang penguasa birahi. Jenjang dialektika pembenaran tentang hipokrit yang di tuangkan dalam poci pembantaian atas nama kemanusiaan. Luar biasa.... kebenaran di gugat atas nama kebenaran. Manusia teracung dengan metafisika atas ketaksanggupan menggapai hakikat. Hakikat malampaui ruang-ruang akal manusia di kembalikan pada material berujung pada kehidupan yang pragmatis. Yah... nikmat.
Jadi aku harus bilang WoOuUUu gi thu..... itulah nuansa tantang senandung drama ilmu dari panggung pentas kehidupanku, Aku terpana darinya sebagai air untuk di teguk saat dahaga menghampiriku. Ku junjung sampai ke langit, ku himpit sebagai letakkan pijakan kakiku, merundung sebagai bentuk peratapan dari makna yang ambivalen. Meradang dari ketaksanggupan untuk melingukupi. Jujur aku iri  dari siapa yang mengunkap isi hatinya di balik jendela, mengungkapkan syair-syair ini menembus hijab-hijab kebodohan. Larik-larik itu mennggugah imajinasi ke nirwana.
Pori-pori dishormani bersamaku dalam pijakan keraguan. Melangkah setapak demi setapak untuk menuai hasil pencarian. Bulir-bulir pengatahuan menyentuh kalbu, merongrong akal, menggugat realitas. Kedalaman ilmu mencuat saat ku galih hingga kedalaman keterbatasanku, tak kunjung sampai pada batasnya. Ku kerahkan energi untuknya, ku curahkan segala perhatianku kepadanya, hingga aku malu berpaling darinya sebab aku belum tercebur kedalamnya. Malu aku bercerita tentang keilmuan itu di balik batas yang ku miliki, belum sanggup melampaui orang yang bercerita di balik jendala itu, aku kagum kepadanya, tapi Cuma ada suara merdu menggelayut, menyayat hati dengan kelembutan tutur katanya.
Dia guruku, yang membuka pintu jendela pengatahuanku. Dia mengenalkan tentang sebuah cerita, misteri tentang kehidupan. Darinya ku dapatkan pengantar tidur untuk melamun, membuka luka lama yang tersayat pisau,aku terlentang dari keheningan malam, menyusuri lorong-lorong mimpi. Membuka sayutan mata ketika fajar mennyambut datangnya hari esok. Harapan menyisiri hari, ku buka lembaran-lembaran di hadapanku untuk mencekal kekeringan jiwa yang ku alami.
Guruku di balik imajinasiku, guruku di balik jendelaku, kau hanya selaksar imajinasi yang membuka pintu pencarianku. kini ceritamu telah terselebungi dengan nuansa fatarmogana, aku keliru di jalan ini, tapi suarumu tak lagi menyeruak di balik jendela ku.  ku nanti kau untuk menampakkan dirimu tapi dirimu hanya bayang-bayang semu. Guru, kau tak lebih dari ungkapan-ungkapan yang tercecer dari setiap perjalananku, aku hanya bisa mengenanmu lewat apa yang ku dapatkan pada gaung-gaung suara di di udara lalu ku tangkap dengan kesanggupanku. Siapa yang lewat di telingaku dengan falsafah hidup,  dialah guruku, entah siapa, sebab mengenalmu bukan hal yang  penting tapi yang penting adalah pengetahuan itu. Guru kau adalah imajinasiku di balik selaksar cerita di balik jendela itu. Yang ku lalui pada  larik cerita ini hanyalah sebuah kehidupan imajinasi yang menyeruak dari letupan imajinasi yang menghampar.
Sekian dan Terimakasih yang mneyempatkan waktunya untuk membaca, 
sebab tak ada pengetahuan tersimpan dalam larik cerita ini,
tak ada pelajaran yang bisa kita tarik. 
Tak ada nuansa keindahan dalam baitnya karena bukan puisi tapi ini adalah sebuah kehidupan puisi.

Untukmu Karmila Kasmin



Pernah aku membaca sebuah komentar yang ada di jaringan sosial (facebook) yang mengomentari salah satu status terbaruku di facebook saat itu. Kau menuliskan komentarmu, “ aku tidak terlahir dari rahim hijau, aku tidak terlahir dari rahim hitam dan tidak juga lahir dari rahim hijau hitam. Tapi apakah aku tidak bisa menjadi sahabatmu”. Dan saat aku membacanya, lama aku terdiam, merenungi apa yang kau tanyakan.
Sungguh, aku tidak pernah menganggapmu sebagai sahabat, tidak penah. Bahkan hal itu tidak pernah terfikirkan olehku.
Bagiku, kau bukan sekedar sahabat,
Tapi aku telah menganggapmu saudaraku bahkan lebih dari saudara, itupun jika kau mau menganggapku saudara.
Aku menyayangimu selayaknya adik ke kakaknya, bahkan aku takut kehilanganmu.
Kau tahu, aku slalu merindukan saat duduk bersamamu, baik itu di kamar, ditempat nonton tv,  bercerita tentang apa saja! merindukan saat kau bercerita tentang keluargamu, temanmu, kejadian-kejadian yang kau alami di setiap harinya. Aku merindukan hal itu, Tapi hal itu mungkin tidak akan terulang lagi, karena kita berdua masing-masing memiliki kesibukan sendiri. Sehingga aku merasa kau sangat jauh dariku.
Semuanya bermula saat kau menjadi staf di prodi, dan aku sendiri aktif dan melakukan hampir semua aktivitasku di lingkungan teman-teman organisasi ekstra kampus. Aku merasa ada yang hilang. Makanya setiap aku pulang, aku slalu bertanya pada teman-teman di kost, “ada ka’mila” dan berharap kau ada di dalam kamarmu. Tapi mereka menjawab “tadi ada, tapi keluar lagi”. Lantas aku kembali ke kamarku, merebahkan tubuhku di tempat pembaringan dan menuju ke pulau kapuk bersama bayang-bayangmu.

Sebias Cahaya




Friday, June 15, 2012



Dimalam yang sunyi senyap,
sangatlah diperlukan sebias cahaya yang dapat menenangkan hati.
Pernah terfikirkan, sebias cahaya itu adalah kau.
Aku bahkan masih belum bisa memahami cinta
Jadi tak bisa mendekatinya
Tapi mengapa hatiku yang bodoh ini
Terus berdebar
Aku bahkan tak tahu bagaimana waktu berlalu
Tapi denganmu aku bisa rasakan waktu belalu
Aku ingin tinggal sisimu sebentar saja,
Meski hanya sebentar, tapi
Waktu berlalu begitu cepat ketika aku bersamamu
Dan ketika kau pergi, aku terus merasa kehilanganmu
Waktu terasa berjalan sangat lambat
Rasanya sulit
Karena hatiku tlah jatuh untukmu

Intermediate Training In Makassar City. Benteng Somba Opu.

23 05 2012

malam ni..
nggak tw knp jadi kpikiran bahwa selama ini ada yang hilang..
kepingan-kepingan kenangan yang saat ini, aku berusaha mengingatnya kembali

yaa
Aku ingat, hampir dua pekan kami bersama
Banyak hal yang terjadi Sesuatu yang nggak pernah terfikirkan sebelumnya
Aku tidak sedang merangkai kata-kata indah
Aku hanya ingin mengenang kembali.
Mmmm… ingatkah kalian, kala itu Kita semua hampir tidak pernah sarapan, langsung masuk forum Apa kalian juga ingat?
- Saat-saat ngerjain tugas Makalah atau Resume dari pemandu 
- Ada yang tertidur di forum 
- Diskusi yang selalu diselingi canda tawa 
- Ada air yang mengalir karena keegoisan 
- Rasa senang, sakit, jenuh. 
Semua menyatu di Benteng somba opu Pesertanya pun berasal dari daerah yang berbeda. Ada yang dari
- Majene 
 - Makassar 
- Mamuju 
 - Palopo 
- Pangkep 
- Sorong 
- Tarakan
semuanya telah berubah, semuanya sibuk dengan kerjaan masing-masing KARENANYA..
1. tak ada lagi Hidayat: “Akhwat…!!! Kalian ingat ingat julukan apa yang melekat pada orang ini?” yupz. Cukup akhwat yang tw…
2. tak ada lagi Jusman: yang kalau ngomong biasanya, suaranya nggak kedengaran.
3. tak ada lagi Abdul haris: si Mr.E… yang kalau ngomong nggak pernah lupa dengan “E”nya
4. tak ada lagi M.Anjar: si Mr.Kompor mleduk, yang ngomongnya nggak karuan, nggak pernah dikontrol… (peace kanda)
5. tak ada lagi Saharuddin: ketua cabang tarakan yang penampilannya dewasa AbiezzzZz
6. tak ada lagi Soneka: kanda yang alergi photo.
7. tak ada lagi Ahmad: yang slalu sabar ngadepin si Amar yang supr lebayyY 8. tak ada lagi Amran: si pa’haji yang marah-marah dan mlototin orang-orang didalam forum
9. tak ada lagi Syahruddin: peserta yang hampir ngaak pernah ngomong di forum.
10. tak ada lagi Baihaqi z: yang slalu menjengkelkan di dalam forum, tapi super baik hati katanya.
11. tak ada lagi Rifal: kepala suku yang suka telat masuk forum.
12. tak ada lagi Lalu artana: si Mr Pede
13. tak ada lagi Jusnawati: si jenius ( kta Hidayati)
14. tak ada lagi Suhasti p: si preman insyaf (kta Hidayati too)
15. tak ada lagi Suharni: si ibu suku yang biasa masak sarapan buat peserta akhwat
 16. tak ada lagi Ma’rifah: si penampakan (kta K’juanda)
17. tak ada lagi Suriani: si tuti(tukang tidur) tapi cekatan.
18. tak ada lagi Amar: si tuti juga. Dan parahnya lagi. udah tw tuti, dengan pedenya duduk didepan low diforum. hahaha amar... Amar
19. tak ada lagi Ali akbar: si tuti. ½ ma suriani
20. tak ada lagi Sulfiani: ukhti yang harus diamankan kalau ada keributan, kalau nggak bisa jantungan.
21. tak ada lagi Hidayati: ukhti yang slalu mencairkan suasana, kalau teman-teman akhwat semangatnya menurun.
22. tak ada lagi Awaluddin: Kekom uncp palopo yang sudah kurus, kasihan. Tambah kurus gara-gara LK2.
23. tak ada lagi Abdul haris (pace): slalu jadi bahan candaan peserta Intermediate Training.
24. tak ada lagi Muslimin:?
25. tak ada lagi Mutlak: SiMr. Berkapabel
26. tak ada lagi Syufian hadi: yang slalu komentar tentang namanya
27. tak ada lagi Ilham usman:?
28. tak ada lagi Sirajuddin:? 
 
MMmmmm… yang mau nambah koment silahkan. Nggak ada yang larang.