Minggu, 01 September 2013

Broken Home, tak mematahkan langkahku untuk tetap berkarya


Sabtu, 31 Agustus 2013
 

Ku beranjak dari peraduanku, terdengar sayup percakapan beberapa orang lelaki diluar sana.
Kulangkahkan kakiku hendak melihat apa yang terjadi, kusingkap kain penutup jendela kaca di rumah neneku yang tidak besar dan tidak kecil.
"ah mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti" gerutuku dalam hati...
keheningan malam kian larut mempersiapkan diri untuk pagi menjelang. Hawa dingin sudut desa sukamaju kian member kehangatan teramat sangat. Ada sepi yang menikung hati terdalam. Sendiri melawan kelam serta menarikan jemari di atas keyboard handphone.
“Sendiri menyepi” sayup kudengar lantunan syahdu edcoustic. Rumah yang pernah menorehkan prasasti sejarah untukku. Disinilah sejarah hidupku bermula, kucoba kembali menyususun lembaran klenangan yang berserakan, merangkainya kembali dengan penuh kehati-hatian agar tak ada celah setan yang merusaknya.
Aku belajar diam. Mencoba menuntun hati dengan dzikir agar tak ada lagi tangis kesia-siaan. Mencoba untuk mengobati luka atas goresan dalam hati  yang tersayat, mengusapnya dengan kelembutan sentuhan lantunan dzikir yang kini mulai terasa getarannya.
“Broken Home”
Kata-kata itu terlontar dari bibir sahabatku tempo hari. Aku tahu menjalani hidup sebagai anak korban broken home, tentunya tak pernah menjadi cita-cita semua anak di negeri ini. Kita sama-sama tahu rasanya seperti apa tapi bukan persoalan itu yang hendak kupaparkan dalam tulisan sederhanaku hari ini atau mungkin itulah yang menjadi bahasanku… entahlah. Kita lihat sajalah.
Aku menyadari bahwa menjalani peran sebagai anak korban broken home bukan suatu hal yang mudah hingga pada akhirnya, saat kaki ini mulai terasa lelah berjalan mengikuti alur skenario hidup,  berhenti di antara terik untuk sejenak mengusap peluh aku belajar untuk tetap menatap titah hidupku dari sudut pandang yang lain, pada sudut pandang yang Nampak lebih terang, tanpa bayang kabut yang menjadi tabir kebeningan hati.
Meski, Broken home menjadikan aku pincang tanpa hadirnya sosok seorang ayah, buta dan tuli tanpa dekapan cinta seorang ibu.
Tapi, Broken home mengajariku, tentang bagaimana aku harus menggunakan konsep ikhlas dalam penerimaan terhadap titahNya. Menerima kehilangan sebagai bentuk pendewasaan untuk belajar mandiri menghadapi dinamika hidup agar tidak terlalu bergantung pada sosok seorang ayah. Broken home menuntunku untuk semakin mendekat dengan ruang kesabaran dan membuka kesadaranku bahwa keluh tidaklah mampu meringankan beban pada pundak.
Hanya dengan mendekat, bercakap dan memohon pada-Nya kedamaian hati itu aku dapat.
Broken home… menjadi penyemangat dalam kesungguhanku menggapai mimpi dan terus menanamkan sugesti bahwa kesuksesan tak kan mampu aku genggam tanpa kesungguhan dan tak pernah membiarkan kesemangatan ini meredup dan dalam pengharapan akan masa depan yang lebih baik.
Broken home menjadi cambuk pelecut, atas masa depanku tentang bagaimana aku mempersiapkan diri agar kelak keluargaku tak terurai seperti kedua orang tuaku. Menuntunku untuk senantiasa berbenah menjadi manusia berkualitas agar kelak menjadi seorang ibu sholeha yang mampu mendidik anak-anakku dengan cinta dan berjalan seiring dengan suami membentuk keluarga harmonis yang dekat dengan Rabbnya.
Broken home  menyadarkan hatiku untuk mematikan rasa agar senantiasa terjaga kesuciannya, tak tersentuh oleh sosok yang tak semestinya dan menanggalkan pengharapan dalam penantian yang keliru. Karena hanya Allah, Allah sang pemilik hati. Dia yang akan menentukan pada siapa esok hati ini akan tertaut membentuk ikatan suci.
Menjadi anak korban broken home  satu sisi membuatku bergitu merindukan sosok-sosok tangguh dan tegar yang slalu ku kagumi ( Ayah Ibu) dan di sisi lain aku senang karena Allah mencintaiku lebih dari yang lain, Allah menginginkan aku tumbuh menjadi individu tangguh yang senantiasa dekat denganNya.